skip to main |
skip to sidebar
Si Buta yang Membuatku Melek
Nama saya Rusydi. Usia saya masih belum tiga puluh tahun ketika istri saya melahirkan anak pertama kami. Saya tidak pernah memperhatikannya walaupun dia sangat keletihan dan kesakitan ketika mengandung. Hampir setiap malam saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman saya. Begadang sampai pagi. Malam-malam kami penuh dengan tawa dan banyolan-banyolan lucu tapi konyol. Sayalah yang biasanya membuat mereka tertawa terbahak-bahak, karena saya bisa menirukan gaya maupun suara orang yang sedang kami lecehkan.
Suatu malam saya berlaku usil kepada seorang buta yang sedang berjalan di depan pasar. Tidak cukup dengan ejekan mulut, saya malah meletakkan kaki saya di depannya. Orang buta itu tersandung dan jatuh tersungkur. Kami tertawa terbahak-bahak, sementara orang buta itu hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa tahu apa-apa.
Seperti biasa, malam itu saya pulang telat. Saya melihat istri saya sedang menunggu. Ia tampak lemas sekali.
“Dari mana saja kamu, Rusydi?” tanyanya.
“Ya dari teman-temankulah, masak dari Bulan,” jawab saya sekenanya.
“Saya lemas sekali. Rasanya saat kelahiran sudah hampir tiba.”
Selama ini saya memang sering membiarkan istri saya, apalagi pada usia sembilan bulan kehamilannya. Saya pun segera membawanya ke rumah sakit. Ia dimasukkan ke ruang persalinan. Saya menunggu di luar, sementara ia berperang melawan sakit. Ia mengalami kesulitan persalinan. Berjam-jam saya menunggu di luar, sampai akhirnya saya pulang terlebih dahulu dan menunggu kabar. Tak lupa saya berpesan kepada perawat agar menghubungi saya kalau terjadi apa-apa. Satu jam kemudian, perawat menghubungi saya mengabarkan kelahiran anak saya. “Salîm (tanda bahwa anak saya lahir dengan selamat),” katanya. Saya segera kembali ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, saya ingin segera menemui istri dan anak saya yang baru lahir. Tetapi perawat tidak mengizinkan dan menyuruh saya menemui dokter terlebih dahulu. Dokter kepala yang mengurus proses persalinan.
“Ada apa, Dokter?”
“Tidak ada apa-apa. Anak Anda telah lahir.”
“Alhamdulillah.”
“Ya, kita memang harus selalu bersyukur kepada-Nya dalam keadaan apa pun, termasuk ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan.”
“Maksud dokter?”
“Anak Anda mengalami cacat cukup parah di kedua matanya, dan tampaknya ia tidak dapat melihat seumur hidup.”
***
Ah! Saya tertunduk lemas. Langit seakan runtuh menimpa saya. Saya teringat pada pelecehan saya terhadap orang buta di pasar tempo hari yang saya jegal dengan kaki saya. Benar sekali kata pepatah: “siapa menabur benih akan menuai buah”, “siapa menabur angin akan menuai badai”, “siapa menggali lobang akan terperosok”. Saya hanya bisa diam. Tak tahu harus berkata apa. Beban ini terasa berat sekali.
Hari berlalu. Tidak seperti saya, istri saya tampak lebih tegar. Ia begitu tulus menerima kenyataan. Ia merawat anak kami, yang kami beri nama Salim, dengan penuh perhatian. Sementara saya? Meski saya tidak membencinya, tetapi saya juga tidak menyayanginya. Saya tidak peduli dengan Salim. Ketika dia menangis, saya malah pindah ke ruang tamu tak ingin terganggu oleh tangisannya.
Salim bertambah besar. Ketika menginjak usia satu tahun, ia mulai belajar berjalan. Ketika itu kami tahu bahwa ternyata ia juga pincang. Hancurlah hati saya. Dada saya semakin sesak rasanya.
Waktu berlalu. Istri saya melahirkan dua anak laki-laki lagi yang kami beri nama Umar dan Khalid. Salim dan adik-adinya pun bertambah besar. Saya semakin tidak suka berada di rumah. Saya semakin sering bermain dengan teman-teman saya. Saya jadi bahan permainan teman-teman.
Saya akui bahwa istri saya tidak pernah putus asa mengajak saya kepada kebaikan. Bukan hanya itu, ia juga selalu mendoakan agar saya berubah. Ia tidak marah melihat tingkah laku saya, tetapi ia tampak begitu sedih melihat sikap saya terhadap Salim. Apa salah Salim?
Salim kini sudah besar, sebesar kegundahan saya yang semakin menggunung. Saya tidak keberatan ketika istri saya meminta izin untuk menyekolahkan Salim di sekolah anak berkebutuhan khusus.
***
Hari itu hari Jumat. Saya baru bangun tidur pukul sebelas siang. Itu masih terlalu pagi buat saya. Tapi okelah, karena hari itu saya akan menghadiri resepsi. Selesai mandi, saya memakai baju dan parfum, dan siap keluar rumah. Tetapi, ketika melewati ruang tamu, langkah saya terhenti oleh suara tangisan. Ya, tangisan Salim yang cukup keras. Ini adalah kali pertama saya merespons tangisan Salim. Sejak sepuluh tahun lalu, saya tidak pernah peduli dengan tangisannya. Ingin rasanya saya pura-pura tidak tahu, tapi tidak bisa.
Salim memanggil-manggil ibunya. Saya menoleh dan mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kamu menangis, Salim?” Mendengar suara saya, dia berhenti menangis, tapi tidak menjawab pertanyaan saya. Dia malah meraba-raba benda di sekelilingnya. Saya merasa seolah dia ingin menjauh dari saya. Tindakannya itu seolah berkata, “Sekarang kamu peduli kepada saya, lalu ke mana saja kamu selama ini?”
Salim mengarah ke kamar. Saya membuntutinya dari belakang. Awalnya dia menolak memberi tahu saya mengapa dia menangis. Tapi saya berusaha bersikap selembut mungkin. Dia pun bercerita mengapa dia sampai menangis. Tahukah Anda apa sebabnya? Ternyata hari Jumat itu Umar, adiknya, telat mengantarnya ke masjid. Ya Allah…! Dia memanggil-manggi ibu dan adiknya, tetapi tidak ada jawaban. Saya mulai memandangi air matanya yang menetes dari kedua matanya yang buta.
Saya tidak mampu menguasai diri untuk mendengar sisa kata-kata yang keluar dari mulut Salim. Saya letakkan jari saya di mulutnya supaya dia tidak melanjutkan kata-katanya. Saya bertanya lembut, “Benar karena itukah kamu menangis, Salim?” “Ya,” jawabnya.
“Kamu akan diantar ke masjid. Tapi, tahukah kamu siapa yang akan mengantarmu salat Jumat ke masjid kali ini?”
“Pastilah Umar. Tapi dia sering terlambat.”
“Bukan. Bukan Umar. Ayah yang akan pergi ke masjid bersamamu.”
Salim tidak percaya. Dia mengira saya mengejeknya. Dia menangis lagi. Saya menghapus lagi air matanya. Saya berniat mengantarnya ke masjid dengan naik mobil, tapi dia menolak dengan alasan masjid itu tidak jauh. “Aku ingin jalan kaki saja,” katanya.
Saya pun berjalan di sampingnya menuju masjid. Saya merasa diri ini amat kecil, tetapi dosa-dosa itu amat besar. Saya sudah tidak ingat lagi kapan kali terakhir saya masuk masjid, saking lamanya. Ada perasaan takut di dalam diri saya karena bertahun-tahun saya menjauhi masjid.
Ketika kami sampai, masjid sudah penuh. Tetapi saya heran, ada tempat kosong yang sudah disiapkan para jamaah untuk Salim. Kami pun mendengarkan khotbah, kemudian Salim berdiri salat di samping saya. Tidak! Saya yang salat di samping Salim.
Selesai salat, Salim meminta saya mengambilkan mushaf al-Qur’an untuknya. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana dia bisa membaca al-Qur’an sementara dia tidak melihat? Tapi saya buang dulu jauh-jauh perasaan itu karena takut menyinggung Salim. Saya mengambil mushaf al-Qur’an untuk Salim. Dia meminta saya membukakan surah al-Kahf (al-Kahfi). Saya membolak-balik halaman mushaf hingga akhirnya menemukan surah yang dia minta. Salim kemudian mengambil mushaf itu dan meletakkannya di depannya. Dia pun mulai melantunkan surah al-Kahf dengan mata terpejam.
Ya Allah! Dia hafal surah al-Kahf secara lengkap! Sedangkan saya? Saya merasa semakin kerdil dan malu. Saya kemudian menjulurkan tangan mengambil mushaf untuk saya baca. Serasa bergetar sendi-sendi tulang saya saat hendak membaca al-Qur’an. Sambil membaca al-Qur’an, saya bermohon kepada Allah agar Dia mau mengampuni dosa-dosa saya dan memaafkan kesalahan-kesalahan saya. Tak kuasa, air mata saya menetes hangat. Saya seperti anak kecil. Ketika itu jamaah masih banyak yang belum pulang. Mereka sedang melakukan salat sunnah. Saya mencoba menyembunyikan tangis karena malu, tapi sedu sedan tetap saja terdengar. Saya tidak sadar kecuali ketika jari-jari kecil menyentuh pipi saya. Salim mengusap air mata saya. Saya memandangnya dan memeluknya kuat-kuat. Di dalam hati saya bergumam, “Bukan kamu yang buta, Nak. Ayahmu inilah yang buta karena mengikuti teman-teman ayah yang brengsek itu!”
Kami pun pulang. Istri saya sangat cemas dan khawatir memikirkan Salim, tetapi kekhawatirannya berubah air mata haru ketika dia tahu saya melaksanakan salat Jumat bersama Salim. Saya merasakan perubahan dalam diri saya. Doa tulus dan kesabaran istri saya kini sudah terkabul. Allah tidak buta! Allah tidak tuli!
Saya kini tidak lagi meninggalkan salat. Saya sudah menjauhi teman-teman bajingan itu. Di masjid, saya menemukan banyak teman yang baik. Lidah saya tidak berhenti berzikir. Hati saya tidak berhenti memohon agar Allah memaafkan pelecehan saya selama ini. Ketika saya melihat Salim, saya amat bersyukur. “Engkau tidak buta. Engkau bahkan memiliki dunia dan seisinya.” Begitu gumam saya dalam hati. Puji syukur untuk-Mu ya Allah.
(Sumber: Qashsash Adzhalatnî versi Bahasa Indonesia).